Rabu, 12 Oktober 2011

Masjid Raya Sumatra Utara



Suatu siang di  Masjid Raya.

Sebuah Review : Ayahku (Bukan) Pembohong



Ayahku (Bukan) Pembohong

Adam mulai berhenti memercayai cerita-cerita ayahnya ketika umurnya tepat dua puluh tahun. Selama kurun waktu itu, ia tumbuh dengan sekelumit kisah fantastis,bombastis dari sosok ayahnya. Dalam setiap jengkal riwayat napas Adam, tak ada satu ceritapun yang tidak dikisahkan oleh Ayahnya : tentang pemain sepak bola yang menjadi sahabat terbaik ayahnya, negeri penguasa angin, apel emas dan  Lembah Bukhara. Semua itu diceritakan ayah dengan sangat meyakinkan. 

Adam terus tumbuh dengan kisah-kisah itu. Lihatlah, ia memang mengambil banyak hikmah dari kisah-kisah ini. Ia memaknai hidupnya melalui cerita-cerita ayah. Sampai sebuah peristiwa yang meluluh lantakkan kepercayaan itu : saat ibunya meninggal.

Saat ia memilih pergi dari rumah, saat ia sudah berkeluarga, saat ia begitu membenci cerita-cerita ayah. Saat itu semua, istrinya meminta agar ayah tinggal di rumah mereka. Jadilah perdebatan sengit itu terulang. Ayah memulai kebiasaannya dan menumpahkannya pada dua orang malaikat kecil (Zas dan Qon). Ya, mereka adalah dua cucu yang begitu antusias mendengar tiap jengkal kisah ayah yang selalu menarik perhatian mereka. Seperti terulang kembali, Adam tidak mau anak-anaknya tumbuh dengan kebohongan. Ia melarang ayah untuk bercerita. Ini sangat delematis dan penuh resiko. Bagaimanapun ia tak akan sampai hati melaukai hati ayahnya itu. Sebab kesuksesan hari ini adalah kerja keras ayahnya di masa lalu.

Ayahku (Bukan) Pembohong diceritakan dengan bahasa sederhana yang menghentak jiwa. Ada begitu banyak kearifan yang dapat kita cerap dan menjadi sebuah renungan. Sederhana sebenarnya, Tere Liye seperti ini memberitahu  kita tentang kebahagian sejati yang sederhana, cinta keluarga dan hubungan emosional antara orangtua dan anak. 

Selamat menangguk kearifan di dalamnya!!! : )

Selasa, 11 Oktober 2011

Musuhku Sahabatku

Sejatinya aku benci sekali padamu. Matamu yang mengelang itu menyemburat kebencian, kelicikan dan aku tak bisa untuk sekadar menjadi teman obrolmu. Itulah yang kuterka ketika pertama kali kita bersinggungan mata di jalan. Aha, engkau memang lebih tinggi dariku, tapi rasanya tak perlulah sampai harus membusungkan dada seolah menantang.

Tubuhku kecil, jika beradu ototpun aku akan kalah. Tapi tidak jika kau menantangku menulis surat cinta. Oi, terlupakah olehmu kalau aku adalah juru tulis untuk setiap surat cinta teman-teman kita. Seolah akulah yang sedang jatuh cinta. Aku meramu dari buku paling romantis yang telah aku cerap, lantas aku guratkan dengan sepenuh hati. Kegembiraan tergilaku adalah saat si Rahmat berteriak lintang pukang di telingaku bersebab cintanya diterima.

Tak ada obrolan yang sering terjadi antara kita. Aku menghindar untuk terlibat percakapan denganmu meski kau sering ingin bergabung dengan kami. Ya, meski kuakui selera humormu cukup berkelas. Kau tak sadar saat itu, satu persatu teman-teman dekatku menjauh. Mereka (mungkin) mengira bersenda gurau denganmu lebih asyik ketimbag denganku yang sok serius.

Jadilah di sekolah kita dulu aku seperti tak berteman. Aku berubah menjadi sosok yang semakin diam. Dan kau,  merasa di atas angin. Apa menariknya bersitegang denganku? Apa menariknya kau menjadikanku rivalmu? Bukankah kau lebih pintar, lebih kaya, lebih tampan? Semua cewek-cewek sekolah kita akan blingsatan jika  kau dekati, tanpa kau  harus memintaku  menuliskan surat cinta untuk mereka.

Begitupun, baru terpilin kebersamaan kita ketika kau seregu denganku pada perkemahan di Sibolangit. Aku ketua regu, dan ini membuatmu sangat jengkel. Apa peduliku? Nyatanya sekarang kau adalah bawahanku yang harus kau turuti. Jika membantah, aku tak akan segan menendang kepalamu? Ah, taklah aku sekejam itu.

Perkemahan ini hanya tiga hari. Terlihat memang, kita mampu bekerja sama untuk membuat tim kita menjadi yang terbaik dan membuang sementara egoism masing-masing. Meski sesekali sering kau katakan aku tidak tegas untuk menjadi leader. Tak apalah! Sebab aku tahu itu hanya karena kau iri melihatku.

Kompetisi yang paling menegangkan adalah jelajah alam. Medan yang akan kita hadapi bukannya mudah. Di sana penuh jebakan. Ah, aku tak tahu apakah aku bisa menyeberangi arus yang sangat deras itu. Sementara hari itu staminaku drop sampai titik terendah. Aku sempoyongan tapi tak bisa melakukan apapun. Sesekali teman-teman yang lain membopongku. Ah, kukira aku akan mati di sana hari itu.

Tantangan terakhir. Kita harus menyebrangi arus sungai dengan seutas tali. Aku tak sanggup lagi sebenarnya. Tapi aku kuat-kuatkan diriku. Tibalah giliranku, aku memagang tali penyanggah dan menapak hati-hati. Sesekali hampir terjatuh. Dan, benarlah, saat itu aku tak sadarkan diri. Aku terjerambat dan tubuhku ditelan badan sungai. Digelinding ke sana kemari. Aku gelagapan dan tak bisa bernapas. Namun, entah kenapa saat aku mengira semuanya akan selesai, aku merasa tubuhku seperti terbang. Ada yang merengkuh pundakku. Ada yang menyelamatkanku. Dan mataku masih sempat membuka, kulihat wajahmu yang dipenuhi kekhawatiran. Matamu yang berembun, aku tak tahu apakah itu air mata atau air sungai yang tertinggal di ceruknya. Tapi, sejak itulah aku tak melihat rona kebencian di wajahmu. Sejak itulah aku berhutang nyawa padamu.

(Untuk sahabatku yang entah di mana, kuharap kau membaca ini. Bukankah mudah bagi kita untuk berkabar sekarang ini)

Senin, 10 Oktober 2011

INFO SPEKTAKULER DI AKHIR TAHUN MENYAMBUT MILAD FLP WIL. SUMUT VIII












LOMBA MENULIS  DAN AKSI KEMANUSIAN MILAD  FORUM LINGKAR PENA SUMUT  VIII

Nama Kegiatan           : Milad FLP Wilayah Sumatra Utara VIII
Tema                           : FLP For Charity

Saatnya buat kamu yang suka menulis…
Saatnya buat kamu yang suka berkompetisi…

Tuangkan ide-ide kamu…
Yang brilian, yang keren, yang memiliki banyak hikmah, tapi harus sesuai “tema”
Yup, sebab pada milad kali ini FLP SUMUT mengusung tema FLP FOR CHARITY. Kamu harus mengangkat tema “KEMANUSIAN”
Rangkaian Acara:

·         Talkshow kepenulisan bersama sastrawan Sumut dan Jakarta
·         Lomba menulis cerpen
·         Lomba cipta puisi
·         Lomba majalah dinding tingkat SMU
·         Lomba resensi antologi puisi “NUUN”
·         Atraksi sejuta pena
·         Bazar buku
·         Donor darah dan sunat massal.

KETENTUAN LOMBA:

Ø  Lomba menulis cerpen
·         Peserta adalah pelajar dan mahasiswa yang disertai dengan  KTM atau KTP
·         Tema cerpen “Kemanusian”
·         Panjang tulisan antara 5 – 10 halaman kwarto, 1,5 spasi dengan huruf Time New Roman dengan ukuran 3 cm (kiri,kanan, atas dan bawah)

Ø  Lomba cipta puisi
·         Peserta adalah pelajar dan mahasiswa yang disertai denga KTM atau KTP
·         Bentuk puisi bebas asal mengacu pada tema lomba
·         Setiap peserta hanya mengirimkan 2 puisi terbaiknya

Ø  Lomba majalah dinding tingkat SMU / SMK sekota Medan
·         Tim Redaksi yang diikutkan dalam Lomba Mading Tingkat SMA/SMK sekota Medan merupakan delegasi dari SMA/SMK di wilayah Provinsi Sumatra Utara
·         Delegasi dari sekolah dapat berjumlah satu tim atau lebih (maksimal 2 tim).
·         Tim Redaksi berjumlah maksimal 5 orang tidak dibatasi jumlah laki-laki dan perempuan.
·         Majalah Dinding saat final dibuat ketika lomba berlangsung (on the spot). Peserta diperkenankan untuk membuat naskah dari sekolah masing-masing dengan tema “Sastra Untuk Kemanusiaan”
·          Rubrik yang harus ada pada majalah dinding adalah Laporan Utama, Profil, Laporan Khusus, Artikel, Puisi, Resensi, Tajuk Rencana, Salam Redaksi, Foto- foto pendukung dan Karikatur.
·         Waktu pengerjaan lomba adalah 4  jam dimulai pukul 09.00 hingga pukul 13.00 pada tanggal 20 November 2011 di Taman Budaya Sumatra Utara.
·         Kriteria penilaian meliputi kesesuaian tema dengan isi, bobot isi lomba, artistik, kekompakan dan kerjasama tim, reader interest, dan bahasa yang digunakan.
·         Semua alat dan bahan yang digunakan pada saat lomba disediakan oleh peserta.

Ø  Lomba Resensi Antologi “Nuun”
·         Buku yang diresensi adalah kumpulan puisi FLP SUMUT “NUUN”
·         Panjang resensi minimal 2 halaman A-4,1,5 spasi, TNR 12  dan semua marjin 3 cm.
·         Bagi yang belum memiliki bukunya, dapat membeli di sekretariat FLP

Ketentuan Umum : 

·         Peserta mendaftar pada panitia dengan membayar kontribusi Rp 10.000,-/orang. Untuk Mading Rp. 20.000,- / kelompok

·          Karya orisinil dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba sejenis

·          Peserta tidak berlaku bagi anggota FLP dan perseorangan yang pernah menjuarai lomba sejenis tingkat nasional

·          Tidak boleh mencantumkan identitas di lembar karya. Biodata lengkap dibuat pada lembar terpisah (nama, alamat, telp., email dan sebagainya)

·          Naskah rangkap dua dan dimasukkan dalam amplop tanpa mencantumkan nama, cukup jenis lomba pada sudut kiri amplop.

·          Penyerahan naskah dimulai dari tanggal 17 Oktober 2011, paling akhir tanggal 06 November 2011 ke sekretariat FLP SUMUT  Jl. Sei Delli No. 18 Y Gg. Sauh, Medan, pukul : 10.00 – 16.00 WIB

·          Diambil 3 orang pemenang utama

·          Hadiah bagi pemenang berupa tropy , piagam penghargaan, bingkisan menarik.  

·          Naskah yang masuk menjadi milik panitia

·          Pengumuman pemenang dilaksanakan pada milad FLP Sumut tanggal 20 November 2011

·          Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat

Hayooo, cepetan kirim! Waktu terbatas!
Info selanjutnya klik  pengarangcerita.blogspot.com

Contact person :
Abdi ( 083198912465)
Ririn (085270165789)
Cipta (08196041898)



Menulis Fiksi, Mengasah Kepekaan

Menulis Fiksi, Mengasah Kepekaan

Bang Arswendo Atmowiloto pernah bikin buku yang laris di tahun 80-an, judulnya cukup menghentak: “Mengarang Itu Gampang”. Bukan saja judulnya yang menarik, tetapi isinya juga mewakili sebagai modal untuk menjadi pengarang jempolan. Menulis fiksi memang asyik. Kita bisa menembus pagar imajinasi kita. Bahkan di sinilah kepekaan itu diasah dengan polesan pilihan kata yang oke punya. Orang sering bilang, bahwa menulis fiksi erat kaitannya dengan dunia sastra yang terkenal sering mengobral kata-kata indah.
Nggak ada salahnya sih kita membuat tulisan berjenis ini. Dalam kondisi tertentu justru ini diperlukan untuk membangkitkan kesadaran seseorang dalam tahap awal. Cerpen dan novel remaja bersetting islami sekarang sedang laris di pasaran. Hal itu, selain menunjukkan minat baca yang lumayan tinggi, juga mulai tumbuh kesadaran remaja (sebagai pembaca utama) akan Islam. Sebab, kita nggak menafikan bahwa banyak juga kalangan remaja tertentu yang justru tersentuh dengan Islam lewat sebuah cerpen atau novel islami. Itu sebabnya, perkembangan larisnya novel dan cerpen islami menjadi sebuah fenomena yang perlu dipertahankan dan terus dikembangkan. Tentu, ini untuk menunjang langkah syiar Islam bagi kalangan tertentu.

Belajar dari penulis senior
Menulis fiksi tidaklah sulit. Yakin saja, jika kamu punya minat besar untuk menjadi penulis fiksi, selalu ada jalan ke arah sana. Nah, sekarang saya mau ngasih sedikit tips buat kamu. Saya modifikasi dari berbagai sumber supaya kamu termotivasi untuk membuat tulisan berjenis ini. Apa saja sih persiapannya?
Nggak banyak dan nggak berat. Sebab, menulis fiksi kadang seperti menulis perjalanan hidup pribadi kita. Bahkan sangat boleh jadi hasil kreasi antara sedikit fakta dan khayalan kita. Selama itu sesuai dengan ajaran Islam yang kita pegang, sah-sah saja, kok.
Waktu SD dulu, kita pernah belajar mengarang kan? Nah, jadikan itu sebagai modal. Atau ada di antara kamu yang udah lupa pelajaran itu? Oke deh, kalau saya sendiri kebetulan masih ingat tentang tugas dari pak guru bahasa Indonesa untuk mengarang perjalanan saat liburan. Sayang banget, waktu itu saya nggak terlalu serius dalam mempelajarinya. Tapi bagi mereka yang kebetulan berminat di bidang itu, biasanya langsung nyetel. Contohnya La Rose. Kenal, atau minimal pernah dengar nama ini? Yup, penulis wanita yang mengaku sangat terkesan dengan novel Ditelan Kenyataan yang berhasil ditulisnya, ternyata sudah menyukai dunia tulis-menulis sejak umur 5 tahun. Banyak hal yang bisa ia tulis. Tentang kucing di rumah, burung yang selalu berkicau di pagi hari, gemericik air di belakang rumah, atau apa sajalah yang bisa diindera dan kemudian diterjemahkan ke dalam sebuah tulisan. Asyik-asyik aja tuh.
La Rose dikenal sebagai salah satu penulis wanita yang cukup bagus dengan karya-karya novelnya. Banyak di Indonesia ini penulis fiksi terkenal, selain beliau bisa disebut di antaranya, Remy Silado, Arswendo Atmowiloto, Abdul Muis, Marga T., V. Lestari, Mira W, Ashadi Siregar, juga Pipiet Senja. Penulis anyar (bahkan banyak juga di antaranya yang masih muda belia) banyak bermunculan dan langsung ngetop. Siapa sih nyang nggak kenal nama Helvy Tiana Rosa? Beliau disebut-sebut sebagai penarik gerbong cerpen dan novel islami. Asma Nadia, sang adik, juga penulis untuk fiksi remaja yang cukup sukses, bahkan mendapat berbagai penghargaan. Afifah Afra Amatullah alias Mulati Yeni, juga termasuk dalam jajaran penulis fiksi top di tanah air. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kamu masih inget dengan serial Lupus? Nah, Bang Hilman adalah maestro cerita fiksi dengan gaya ngepop. Unsur sastranya diminimalisir. Nyang penting nyambung ke pembaca. Bang Boim Lebon juga tercatat sebagai penulis fiksi yang ngepop, Lupus Kecil yang berhasil dibesutnya juga lumayan bikin seger yang baca. Unik dan menarik. Gola Gong termasuk penulis yang cukup produktif, serialnya di majalah Hai bertitel “Balada Si Roy” lumayan menarik untuk dibaca para remaja. Meski bersetting umum, belum islami. Kini, Gola Gong lumayan menghentak dengan tema-tema yang islami, di antaranya Al Bahri dan Kepada-MU Aku Bersimpuh. Wah, pokoknya kalau mau disebut masih banyak nama-nama lainnya. Sori juga buat mereka yang nggak saya tulis di sini. Pokoknya, salut deh buat teman-teman yang udah berhasil menuangkan gagasannya lewat sebuah cerita yang tidak saja enak dibaca, tapi juga sarat dengan pesan bernuansa Islam. Sekecil apa pun itu, tetep memberi nilai untuk syiar Islam.
Belum lagi cerpenis dan novelis mancanegara. Kamu bisa dapetin tuh nama-nama beken kayak John Grisham, Shidney Sheldon, Agatha Cristhie, Ernest Hemingway, James Clavell’s, dan ratusan nama beken lainnya. Terlepas dari ideologi yang diembannya, mereka telah pandai merangkai kata-kata menjadi kalimat yang mengalir bagai air untuk mengisi plot cerita yang telah dibuatnya. Banyak cerita manusia lahir dari cerpen dan novel ini. Nggak sedikit bahkan novel yang diangkat dari kisah nyata kehidupan manusia.

Beberapa tips praktis
Sekarang ada sedikit tips untuk menulis fiksi. Bang Eka Budianta dalam bukunya“Menggebrak Dunia Mengarang”, ia menulis saran dari cerpenis Putu Arya Tirtawirya, bahwa resep untuk menulis cerpen yang baik adalah pintar bikin kejutan. Kalimat pertama yang kamu tulis harus menghentak. Bang Eka juga menyarankan bahwa resep ‘mujarab’ berupa langkah-langkah praktis. Mula-mula belajarlah membuat surat pembaca. Cari kasus yang aneh dan menarik. Kemudian berlatih menulis kisah sejati. Kalau sudah lancar, tambahkan di sana-sini imajinasi kamu. Dan kalau kamu cukup pintar, sarikan semuanya singkat-singkat. Maka jadilah puisi. Jadi cerpen adalah bentuk longgar dari puisi.
Bang Arswendo punya kita dalam menulis fiksi. Paling nggak itu bisa kamu dapatkan dalam bukunya, Mengarang Itu GampangPertama, kamu harus mengasah realitas imajinasi kamu. Maksudnya, ketika kamu menulis sebuah cerpen atau novel itu nggak lepas dari realitas kehidupan kamu sehari-hari, yang kamu lihat, kamu rasakan, kamu  gumuli dan kamu ketahui. Semua itu bisa kamu tuangkan dalam sebuah cerita fiksi. Misalnya bagaimana tatapan mata orang yang sedang marah, bagaimana guratan wajah seseorang yang sedang dirundung malang, atau sebaliknya, ia sdang bahagia, perhatikan juga ekspresi seseorang ketika membela diri, boleh juga menyelami nasib abang becak, pedagang kecil yang selalu dikejar aparat tibum, dan lain sebagainya. Banyak kok. Dan itu bisa kamu rekam setiap hari. Intinya, realitas dalam karangan adalah hasil imajinasi kamu.
Kedua, bisa memanfaatkan ilham. Kadang-kadang, pas kita lagi bengong, suka muncul tuh ide tentang sesuatu. Kamu bisa aja kepikiran tentang nikmatnya jadi orang kaya, pas kamu lagi bengong di dalam bajaj. Jadi, karena ilham itu seringnya datang tiba-tiba, maka kamu harus belajar untuk menyambutnya. Mesi setiap hari kamu pergi ke sekolah, belum tentu kamu bisa menangkap ilham yang datang. Ketika ada penjual es tua yang selalu mendorong gerobak dagangannya, muncul ide untuk menceritakan tentang kondisi hidupnya. Kalau udah dapet begitu, cepet-cepat datangi beliau. Supaya senang, belilah es barang segelas. Lalu SKSD sedikit, ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupannya, tentang keluaraganya dan tentang cita-citanya. Kalau udah dapet, kamu segera menuliskan ulang dalam cerpenmu pas nyampe di rumah. Mudah bukan? Coba aja ya.
Ketiga, bikin plot. kamu tahu plot? Itu adalah jalan cerita atau alur cerita. Mutlak kamu buat dong, supaya ide kamu mengalir enak. Istilah sederhana dari plot adalah kerangka karangan. Itu pernah saya tulis di awal buku ini. Plot bisa lembut, bisa juga ledakan, atau malah gabungan dari lembut-ledakan. Plot keras (ledakan) adalah akhir cerita tanpa bisa diduga oleh pembaca. Tiba-tiba gitu lho. Tapi tetep logis. Hampir semua cerpen A. Chekov, pengarang Rusia itu, berakhir dengan plot ledakan. Boleh juga baca cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Lelaki dan MesiuSurat dengan Sampul Putihkarya Arswendo juga penuh dengan plot ledakan. Oya, boleh promosi dikit, Serial Ogi yang dibukukan dalam Secret Admirer juga rata-rata berakhir dengan ledakan, terutama episodePutri BiruChatting, Yuk!Ketika Ogi Ronda, dan Kembang Kertas di Taman Sekolah. He..he.. sori, bukan maksud berbangga diri, tapi sekadar memberi contoh.
 Bagaimana dengan plot lembut? Ini memang soal selera ya. Sebab, banyak juga pembaca yang kurang begitu menyukai plot ledakan, jadilah ada istilah lawannya, plot lembut, bahkan mungkin bisikan. Jadi si pengarang menuntun pembaca dengan alur cerita yang terasa mengalir dan kemungkinan sudah tahu jawabannya. Tapi biasanya sebagai penegasan aja dari ceritanya. Kalau gabungan antara keduanya, berarti cerita itu plotnya dua. Dalam perkembangannya, ada juga plot terbuka dan plot tertutup. Terbuka artinya, akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah besar persoalan. Tertutup berarti akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Lebih dititikberatkan pada permasalahan dasar. Tapi harus diingat bro (baca: brother), kamu harus lihai juga mengakhiri plot. Cerita berkahir, plot berakhir. Atau berkahir beberapa saat setelah cerita berakhir. Kata Bang Arswendo, mengakhiri plot seperti menginjam rem. Sesaat sebelum berhenti atau mendadak secara bersamaan.
Keempat, penggambaran tokoh. Yang pernah baca Lupus kayaknya apal banget dengan karakter anak itu. Mulai gaya rambutnya yang retro punya (gondrong), suka makan permen karet, dan juga kocak. Selain tokoh Lupus, ada adiknya, Lulu. Digambarkan sebagai anak yang cerewet dan manja tapi katanya baik hati. Bagaimana dengan Boim dan Gusur? Kayaknya Lupus-mania pada ngeh deh. Nah, pengambaran yang oke terhadap tokoh yang kita buat (kalau bisa sedetil-detilnya; bentuk fisik, perilaku, kesukaannya, ekspresinya di setiap kondisi, dana lain sebagainya) akan menghidupkan cerita itu sendiri. kamu bisa membuatnya dengan memperhatikan kehidupan di sekitarmu, atau baca karya-karya ngetop lainnya. Sebab, pembaca akan dibawa untuk menyelami semua tokoh yang karakternya udah kita gambarkan dengan baik.
Kelima, lokasi tempat. Lokasi di sini artinya ke arah situasi. Jadi, situasi tempat. Nah, kamu harus juga memasukkan unsur tempat ini supaya pembaca bisa menjangkau fakta cerita yang kita buat. Baik lokasi desa atau lokasi kota metropolitian, kamu harus bisa menggambarkannya dengan baik. Kalau bisa sedetil mungkin situasi dan suasana di kedua tempat itu. Boleh dibilang inilah yang oleh para penulis disebut juga sebagai latar cerita kita. Bisa memperkaya wawasan pembacanya. Apalagi tempat yang belum pernah dikunjungi oleh kebanyakan pembaca kita. Bisa menarik itu.
Keenam, menggarap tema. Ini termasuk bagian penting lho. sebab, cerpen atau novel yang kita buat temanya kurang menarik, atau malah nggak ada tema sentral sama sekali (apalagi jika nggak bertema sedikit pun he..he..). Itu mah sama dengan menyuruh pembaca untuk segera melempar tulisan kita. Uppss.. kejam amat ya?
Oke deh, sekarang mulailah menulis dengan panduan dari beberapa tips tadi. Nggak ada salahnya kamu juga terus mengeksplorasi segala yang kamu bisa ketahui. Bener-bener menyenangkan menulis itu. Pengalaman saya dalam menulis cerpen, biasanya tema yang saya angkat adalah dari peristiwa sehari-hari dalam kehidupan. Banyak hal yang menarik. Nggak perlu yang susah-susah. Msalnya aja bisa cerita tentang kejadian subuh di pesantren, santri yang pelupa, pak ustadz yang sedang gantuk saat ngajar para santri. Di sekolah juga banyak peristiwa yang bisa diangkat untuk cerita fiksi. Murid yang bandel, guru yang galak, kepsek yang baik hati dan sebagainya, lengkap dengan kreasi imajinasi yang kamu buat. Mudah kan? Cobalah…
Oke deh kalau kamu memang ngebet ingin jadi penulis fiksi, seringlah mengasah imajinasi kamu. Bahkan semua pengarang seperti ingin berlomba mencipta bahasa baru untuk memberikan kesegaran kepada pembacanya, selain tentunya mengasah kepekaan kita dalam mengolah kata-kata. Siap mencoba?
[Sumber:http://osolihin.wordpress.com]
Pagi masih belia ketika aku harus berlari-lari kecil menuju kelas yang tidak begitu jauh dari asrama. Pagi yang dibungkus gerimis itu membuat tubuh-tubuh kuyu kami lelah dipeluk gigil. Rasanya ingin tak masuk saja, lantas pura-pura sakit meminta tasrih kepada ustad. Hei, ini pondok! Bukan sekolah umum biasa yang bisa sesuka hati perutmu untuk tidak sekolah. Di sini semuanya diatur oleh satu kata bernama DISIPLIN. Ya, bukan sembarang kata, itu sesuatu yang sangat keramat di pondok ini. 

Hidupmu diatur dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan dalam tidurmu pun kau harus mengikuti sederet disiplin itu.
"Bahkan, jika kalian mengigau. Igauan kalian tidak boleh menggunakan Bahasa Indonesia. Harus Arab dan Inggris." begitulah suatu hari ustad kami pernah berpesan.
Maka, kegembiraan tak terperih adalah ketika kami berhasil  bermimpi dengan menggunakan kedua bahasa wajib itu. Dan itu adalah prestasi terbesar. Aneh, bukan?

 Aku menggegas langkah. Jaros masuk sudah terdengar empat kali dentuman. Tidak boleh terlambat, terlambat adalah dosa yang tak terampuni. Ustad Syafe'i tak akan sungkan menghukummu berdiri selama tiga jam di tengah lapangan basket.

Aku sampai di kelas dengan wajah kuyu. Hari ini tak semangat, apalagi sarapan pagi hari ini hanya sambal tahu dan kerupuk. Ouh, lengkap sudah kegelisahan.

(In memorian) 

Bengal (Sebuah Memoar Seorang Santri)

*Aku Bengal

Siang itu pelajaran Mahfuzhat, Ustad Amin dengan tubuh tambunnya sudah sangat siap untuk mengajar. Meski tambun, tapi tak bisa disangkal jika ustad ini mirip Sharu Khan, garis wajahnya persis sekali.
"Kholas, hal ta'alamtum fi- almaskan?" tanyanya.
Gawat! Aku sama sekali belum hapal sebaris kalimat pun. Tadi malam aku ketiduran di kelas. Bagaimana ini? Aku grasak-grusuk sendiri. Pikiranku lintang pukang. Kalian tidak akan pernah  mengira, hukaman sekejam apa yang akan diberikan ustad ini, beliau pernah terkesan tak punya hati ketika menyuruh seorang santri masuk ke dalam kolam ikan dan harus membersihkan permukaan kolam dari tumbuhan liar. Padahal kolam itu bukan tak dalam : 2 meter lebih dan untungnya, si Toni itu bisa berenang meski tingginya hanya 160 cm. Lantas, jika hukuman itu diberikan padaku hari ini, bisa-bisa aku mati tenggelam. Siapa peduli?

Aku masih gemetaran. Jantungku kalang kabut. Ya Allah, please help me! Doaku dalam hati.

"Utara!" suara berat itu menyapaku.
Deg! Jantungku berkelojotan.
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk. Takut-takut bersitatapan dengannya.
"Taqoddam!" suaranya lagi.
Aku menarik napas. Mengedikkan bahu. Mengepalkan tanganku. Aku harus mengambil resiko ini. Sejenak aku berdiri. Perlahan langkahku kuayun.
"Afwan, Ustad. Ana lamma hafidztu!" sebuah ucapan yang sangat berani.
Teman-temanku memandang tak percaya. Kurasakan tatapan mereka memaku tiap inci tubuhku. Bukannya aku si Raja Kilah, ada saja alasanku untuk menghindar dari hukuman.
"Kholas, lidajlik. An tajri min hunaa ilaa hunaaka!" katanya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya.
Aku terpaku. Bibirku tak mampu membantah. Apa guruku ini sudah gila! Yang benar saja, masak aku harus berlari mengelilingi areal asrama putri?
"Tasaro'!" pintahnya.
Entah kekuatan dari mana. Aku menuruti hukuman konyol itu. Jadilah hari itu aku terkenal sebagai si Bengal di kalangan santriwati.

Empat Remaja Keparat ( Sebuah Memoar Seorang Santri)

Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan, Paya Bundung.

Jaros bekas besi tua yang digelantungkan pada cabang pohon mangga itu dipukul empat kali. Dentumannya memekikkan telinga. Kami buru-buru menyudahi tilawah kami. Berteriak-teriak girang membaca doa penutup majlis dan khotmil Qur'an. Para mudabbir itu larak-lirik dengan mata melotot. Oi, apa peduli kami?

Kami menghambur kamar. Berganti pakaian sholat dengan kaos dan training. Hei, ini sore hari, Kawan! Waktu yang paling dinanti oleh seluruh penduduk pondok pesantren ini. Di mana setiap orang bebas melakukan apa saja (tentu saja kecuali lari keluar asrama). Ini adalah waktu yang bisa kami gunakan sesuka hati kami; tidur, belanja keperluan sehari-hari di koperasi, jajan, olahraga, mencuci, latihan beladiri, kaligrapi, nasyid, atau apa saja yang dapat menyuburkan kegembiraan di hati kami.

Dan aku, si cungkring ini lebih suka bertandang ke joglo-joglo belakang asrama. Menenteng sebuah novel yang kata teman-temanku aku seperti tak punya bacaan lain. Ah, apa peduliku?

"Anta kaslan jiddan, hayya nataroyad!" seorang teman mencibirku karena aku malas berolahraga. Kupikir seminggu dua kali sudah cukuplah untuk olahraga, konon lagi pada Selasa pagi dan Jum'at pagi itu staminaku terkuras habis menyusuri sepanjang jalan Let. Djamin Ginting sampai Simpang Selayang. Tapi aku paling suka lari pagi.

Sore hari begini, aku lebih suka berkumpul bersama tiga orang temanku; Firman, Agus dan Azhar. Mereka ini aneh dan selalu menjadi bahan olok-olokkan anak-anak sebangsal. Bagaimana tidak, Firman, si Pembangkang, selalu melawan perintah mudabbir, ia tidak akan pernah mau mengakui sebuah kesalahan meski jelas-jelas bersalah. Makanya ia sering kena iqab; tilawah satu jam depan asrama atau menyelonjorkan kedua tangan yang lantas akan ditindih oleh Munjid (kamus tebal yang sering kami jadikan bantal). 

Agus, bergaya ala Ronaldo, sering kena botak karena meninggalkan pondok tanpa izin. 
"Limadza khorazta dunal-isti'zan?" suara ustad begitu berwibawa
"Ana lapar, Ustad. Tadi siang ana tidak makan karena ketiduran."
Begitulah, Agus sering membuat alasan-alasan yang memelas.

Azhar, si Pendiam yang pintar. Terkadang aku binggung, mengapa ia mau bersekutu dengan kami yang hanya "sampah" santri  di pondok ini. Ia tak akan bakhil jika kau bertanya perihal pelajaran muthalaah yang tak kau mengerti. Otaknya encer kayak kran bocor. Hari ini disuruh menghapal, dua jam kemudian dia sudah mengahadap ustad. Sedang kami, ke mana kami sewaktu pembagian otak?

(BERSAMBUNG...)

Kau, Aku dan Gadis dalam Hatimu.

Medan, di bulan entah ke berapa tahun 2010

Engkau datang begitu saja. Menyapaku, me-like statusku, bahkan sesekali berkomentar. Kubaca nama akunmu yang kukira adalah seorang wanita. Kubuka profilmu untuk lebih sekadar meyakinkanku apakah kita pernah saling mengenal sebelumnya.

Ternyata tidak pernah. Kita bahka tidak pernah tahu rupa kita masing-masing. Dan, engkau masih kuanggap bukan siapa-siapa dalam hidupku.Meski sesekali, pernah menanyakanmu pada seseorang (teman lamamu sekaligus cinta terpendanmu). Ya, dia menceritakan apa saja tentangmu. Sama saja kukira, agaknya engkau suka memainkan peran sebagai sosok The Phantom dalam sebuah opera dan selalu menyembunyikan wajahmu.

Engkau tahu, temanku sekaligus temanmu dan cinta terpendammu itu berbicara dengan wajah yang merekah. Mata yang berbicara lebih dari lisannya. Ia begitu semangat menceritakan perihal dirimu. Sejak itu aku melihat, ada bunga di taman hatinya yang (mungkin) akan ia berikan untukmu.

Lantas, entah siapa pula yang mengikat kita pada sebuah lingkaran pertemanan dunia maya. Dan aku melihat namaku, namamu disejajarkan. Sementara hari itupun aku tak merasa terlibat emosi apapun.

Aku lebih dekat dengan seorang teman nun jauh di negeri antah barantah. Hampir setiap waktu kami berbincang melalui apa saja (sering melalui SMS). Seolah kami adalah saudara kembar yang terpisah berpuluh-puluh tahun lalu (macam sinetron pula jadinya), dan aku disibukkan dengan berbagi cerita. Sementara di sisi lain, aku kerap mengabaikanmu.

Begitulah terus berhari-hari. Sampai suatu waktu, kau menelepon, memberi pesan yang selalu kujawab dengan datar dan apa adanya. Untukkmu aku payah untuk menceritakan pengalaman hidupku. Engkau mungkin merasa sikapku yang tak pernah mengangapmu penting. Dan baru aku sadari itu, ketika engkau pernah mengatakan, "Sebenarnya ana merasa sangat cemburu dengan keakraban kalian!" Sejak itu pula keakraban kita bermula.

Suatu siang yang memanggang bumi. Engkau datang dengan sebuah pesan singkat pada layar ponselku.
"Antum di mana? Ana mau ketemu dengan antum."
Lalu kubalas, alamat tempat aku bernaung.

Aku lupa, apakah itu menjelang Zuhur atau Ashar, kita betemu di masjid ketika sholat jama'ah baru saja hendak dimulai. Sepasang mataku seperti mengenali sosok dengan tubuh menjulang, berkoko putih dengan wajah khas orang Aceh (Hitam, hidung mencuat dan tentu saja aku lebih tampan) hahahaha....

Bakda Sholat kita bersalaman. Masih terasa ada yang cangggung.Inikah kau, Rifki (bukan nama sebenarnya) alias FF. Lalu langkah kita mengarah rumah bouku (uwak). Saat itu tiba-tiba hujan begitu deras. Kau terperangkap pada obrolan yang tak penting. Mungkin kau hanya ingin sekadar tahu, siapa aku?

Maaf, saat itu engkau hanya kusuguhi dengan secangkir teh dan kacang rebus sisa tadi malam. Sebab, aku sendiri menumpang di rumah ini. Kukenalkan kau dengan sepupu(aneh)ku. Ya, begitulah, kita ngalor-ngidul berbincang. Termasuk membincangkan gadis itu, teman kecil sekaligus cinta terpendam.

Dan, hujan mulai reda sekaligus menandai perbincangan kita yang mulai tak ada topik pembicaraan. Engkau bilang masih akan ke Pancing menemui sesorang. Saat itu aku tak banyak tanya siapa yang hendak engkau temui itu. Belakangan aku baru tahu, teman masa kecilmu, gadis yang kau simpan bertahun-tahun di hatimu itu adalah seseorang yang amat kukenal. Yang pernah menceritkan tentangmu dengan mata berbinar-binar.

*Cerita ini bukan sinetron

Suatu Malam di Bilik Sunyi

Senja mulai habis ditelan petang. Aku duduk berselonjor kaki pada sebuah beranda, memandang apa saja yang tampak pada dua bola mataku. Tak hirau pada angin yang mulai menggodaku dengan terpanaan angin dingin. Di langit yang sewarna susu  cappucino, kawanan unggas membentuk formasi anak panah. Belakangan baru aku mengerti, itu cara mereka untuk mengimbagi kekuatan angin.

Ah, belakangan ini hidupku seperti ditelan sepi, disantap kegelapan lalu aku seperti kehilangan semua hal yang selama ini membatu di kepalaku: mimpi. Ya, lagi-lagi ini tentang mimpi itu. Mimpi yang kukira mirip dengan mimpi semua orang yang berambisi. Kali ini, mimpi itu seperti dihisap Dementor. Bukankah Dementor akan melahap segala keputus asaan yang terbenam di kepalamu?

Lantas, pada malam yang semakin gelita. Entah itu mimpi atau halusinasiku saja. Seorang pria setengah tua dengan wajah menyenangkan memanggil pelan namaku. Seperti berbisik, tapi aku dapat dengan sangat jelas mendengar bisikan itu. Aku sempat gelagapan. Bulir keringat membasahi badan. Tapi aku tak bisa menggelakkan rasa ketakutan yang akut ini. Oi, bukan, bukan ketakutan melainkan kegelisahan.

Aku menyisir ruangan pengap ini. Ai, benarlah! Seluit beyangan lelaki tua memakai topi hitam (aku tak melihat jelas, itu topi atau kopiah).
"Apa yang kau risaukan?" suaranya tenang sekali.
Aku gemetaran.
"Anak muda, kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri." suaranya lagi. Serak-serak basah.
Aku mencoba berbicara tapi tak bisa.
"Tetaplah genggam mimpimu!"
Sudah itu, hilang dia. Meninggalkan kegelisahan yang semakin menikam di palung hati.

(Suatu Malam, di bilik sunyiku)