Senin, 10 Oktober 2011

Bengal (Sebuah Memoar Seorang Santri)

*Aku Bengal

Siang itu pelajaran Mahfuzhat, Ustad Amin dengan tubuh tambunnya sudah sangat siap untuk mengajar. Meski tambun, tapi tak bisa disangkal jika ustad ini mirip Sharu Khan, garis wajahnya persis sekali.
"Kholas, hal ta'alamtum fi- almaskan?" tanyanya.
Gawat! Aku sama sekali belum hapal sebaris kalimat pun. Tadi malam aku ketiduran di kelas. Bagaimana ini? Aku grasak-grusuk sendiri. Pikiranku lintang pukang. Kalian tidak akan pernah  mengira, hukaman sekejam apa yang akan diberikan ustad ini, beliau pernah terkesan tak punya hati ketika menyuruh seorang santri masuk ke dalam kolam ikan dan harus membersihkan permukaan kolam dari tumbuhan liar. Padahal kolam itu bukan tak dalam : 2 meter lebih dan untungnya, si Toni itu bisa berenang meski tingginya hanya 160 cm. Lantas, jika hukuman itu diberikan padaku hari ini, bisa-bisa aku mati tenggelam. Siapa peduli?

Aku masih gemetaran. Jantungku kalang kabut. Ya Allah, please help me! Doaku dalam hati.

"Utara!" suara berat itu menyapaku.
Deg! Jantungku berkelojotan.
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk. Takut-takut bersitatapan dengannya.
"Taqoddam!" suaranya lagi.
Aku menarik napas. Mengedikkan bahu. Mengepalkan tanganku. Aku harus mengambil resiko ini. Sejenak aku berdiri. Perlahan langkahku kuayun.
"Afwan, Ustad. Ana lamma hafidztu!" sebuah ucapan yang sangat berani.
Teman-temanku memandang tak percaya. Kurasakan tatapan mereka memaku tiap inci tubuhku. Bukannya aku si Raja Kilah, ada saja alasanku untuk menghindar dari hukuman.
"Kholas, lidajlik. An tajri min hunaa ilaa hunaaka!" katanya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya.
Aku terpaku. Bibirku tak mampu membantah. Apa guruku ini sudah gila! Yang benar saja, masak aku harus berlari mengelilingi areal asrama putri?
"Tasaro'!" pintahnya.
Entah kekuatan dari mana. Aku menuruti hukuman konyol itu. Jadilah hari itu aku terkenal sebagai si Bengal di kalangan santriwati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar