Senin, 10 Oktober 2011

Empat Remaja Keparat ( Sebuah Memoar Seorang Santri)

Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan, Paya Bundung.

Jaros bekas besi tua yang digelantungkan pada cabang pohon mangga itu dipukul empat kali. Dentumannya memekikkan telinga. Kami buru-buru menyudahi tilawah kami. Berteriak-teriak girang membaca doa penutup majlis dan khotmil Qur'an. Para mudabbir itu larak-lirik dengan mata melotot. Oi, apa peduli kami?

Kami menghambur kamar. Berganti pakaian sholat dengan kaos dan training. Hei, ini sore hari, Kawan! Waktu yang paling dinanti oleh seluruh penduduk pondok pesantren ini. Di mana setiap orang bebas melakukan apa saja (tentu saja kecuali lari keluar asrama). Ini adalah waktu yang bisa kami gunakan sesuka hati kami; tidur, belanja keperluan sehari-hari di koperasi, jajan, olahraga, mencuci, latihan beladiri, kaligrapi, nasyid, atau apa saja yang dapat menyuburkan kegembiraan di hati kami.

Dan aku, si cungkring ini lebih suka bertandang ke joglo-joglo belakang asrama. Menenteng sebuah novel yang kata teman-temanku aku seperti tak punya bacaan lain. Ah, apa peduliku?

"Anta kaslan jiddan, hayya nataroyad!" seorang teman mencibirku karena aku malas berolahraga. Kupikir seminggu dua kali sudah cukuplah untuk olahraga, konon lagi pada Selasa pagi dan Jum'at pagi itu staminaku terkuras habis menyusuri sepanjang jalan Let. Djamin Ginting sampai Simpang Selayang. Tapi aku paling suka lari pagi.

Sore hari begini, aku lebih suka berkumpul bersama tiga orang temanku; Firman, Agus dan Azhar. Mereka ini aneh dan selalu menjadi bahan olok-olokkan anak-anak sebangsal. Bagaimana tidak, Firman, si Pembangkang, selalu melawan perintah mudabbir, ia tidak akan pernah mau mengakui sebuah kesalahan meski jelas-jelas bersalah. Makanya ia sering kena iqab; tilawah satu jam depan asrama atau menyelonjorkan kedua tangan yang lantas akan ditindih oleh Munjid (kamus tebal yang sering kami jadikan bantal). 

Agus, bergaya ala Ronaldo, sering kena botak karena meninggalkan pondok tanpa izin. 
"Limadza khorazta dunal-isti'zan?" suara ustad begitu berwibawa
"Ana lapar, Ustad. Tadi siang ana tidak makan karena ketiduran."
Begitulah, Agus sering membuat alasan-alasan yang memelas.

Azhar, si Pendiam yang pintar. Terkadang aku binggung, mengapa ia mau bersekutu dengan kami yang hanya "sampah" santri  di pondok ini. Ia tak akan bakhil jika kau bertanya perihal pelajaran muthalaah yang tak kau mengerti. Otaknya encer kayak kran bocor. Hari ini disuruh menghapal, dua jam kemudian dia sudah mengahadap ustad. Sedang kami, ke mana kami sewaktu pembagian otak?

(BERSAMBUNG...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar