Senin, 10 Oktober 2011

Suatu Malam di Bilik Sunyi

Senja mulai habis ditelan petang. Aku duduk berselonjor kaki pada sebuah beranda, memandang apa saja yang tampak pada dua bola mataku. Tak hirau pada angin yang mulai menggodaku dengan terpanaan angin dingin. Di langit yang sewarna susu  cappucino, kawanan unggas membentuk formasi anak panah. Belakangan baru aku mengerti, itu cara mereka untuk mengimbagi kekuatan angin.

Ah, belakangan ini hidupku seperti ditelan sepi, disantap kegelapan lalu aku seperti kehilangan semua hal yang selama ini membatu di kepalaku: mimpi. Ya, lagi-lagi ini tentang mimpi itu. Mimpi yang kukira mirip dengan mimpi semua orang yang berambisi. Kali ini, mimpi itu seperti dihisap Dementor. Bukankah Dementor akan melahap segala keputus asaan yang terbenam di kepalamu?

Lantas, pada malam yang semakin gelita. Entah itu mimpi atau halusinasiku saja. Seorang pria setengah tua dengan wajah menyenangkan memanggil pelan namaku. Seperti berbisik, tapi aku dapat dengan sangat jelas mendengar bisikan itu. Aku sempat gelagapan. Bulir keringat membasahi badan. Tapi aku tak bisa menggelakkan rasa ketakutan yang akut ini. Oi, bukan, bukan ketakutan melainkan kegelisahan.

Aku menyisir ruangan pengap ini. Ai, benarlah! Seluit beyangan lelaki tua memakai topi hitam (aku tak melihat jelas, itu topi atau kopiah).
"Apa yang kau risaukan?" suaranya tenang sekali.
Aku gemetaran.
"Anak muda, kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri." suaranya lagi. Serak-serak basah.
Aku mencoba berbicara tapi tak bisa.
"Tetaplah genggam mimpimu!"
Sudah itu, hilang dia. Meninggalkan kegelisahan yang semakin menikam di palung hati.

(Suatu Malam, di bilik sunyiku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar