Senin, 10 Oktober 2011

Pagi masih belia ketika aku harus berlari-lari kecil menuju kelas yang tidak begitu jauh dari asrama. Pagi yang dibungkus gerimis itu membuat tubuh-tubuh kuyu kami lelah dipeluk gigil. Rasanya ingin tak masuk saja, lantas pura-pura sakit meminta tasrih kepada ustad. Hei, ini pondok! Bukan sekolah umum biasa yang bisa sesuka hati perutmu untuk tidak sekolah. Di sini semuanya diatur oleh satu kata bernama DISIPLIN. Ya, bukan sembarang kata, itu sesuatu yang sangat keramat di pondok ini. 

Hidupmu diatur dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan dalam tidurmu pun kau harus mengikuti sederet disiplin itu.
"Bahkan, jika kalian mengigau. Igauan kalian tidak boleh menggunakan Bahasa Indonesia. Harus Arab dan Inggris." begitulah suatu hari ustad kami pernah berpesan.
Maka, kegembiraan tak terperih adalah ketika kami berhasil  bermimpi dengan menggunakan kedua bahasa wajib itu. Dan itu adalah prestasi terbesar. Aneh, bukan?

 Aku menggegas langkah. Jaros masuk sudah terdengar empat kali dentuman. Tidak boleh terlambat, terlambat adalah dosa yang tak terampuni. Ustad Syafe'i tak akan sungkan menghukummu berdiri selama tiga jam di tengah lapangan basket.

Aku sampai di kelas dengan wajah kuyu. Hari ini tak semangat, apalagi sarapan pagi hari ini hanya sambal tahu dan kerupuk. Ouh, lengkap sudah kegelisahan.

(In memorian) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar